PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH



PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH INDONESIA

RANGKUMAN MATERI

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS
UAS SEMESTER 1
Matakuliah Pendidikan Pancasila
yang dibina oleh Bapak Hariyono





oleh:
Tri Handayani
150413601511







UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
DESEMBER 2015






PANCASILA DALAM KAJIAN
SEJARAH BANGSA INDONESIA

Presiden Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi kehidupan.Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita.Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan citacita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang kehidupan.Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak hanya sekedar identitas Bangsa Indonesia melainkan lebih dari itu, pancasila adalah identitas Bangsa Indonesia sendiri sepanjang masa yang membangunkan bangsa Indonesia dari tidurnya selama kolonialisme.
A. Pancasila Pra Kemerdekaan
Begitu lamanya penjajahan di bumi pertiwi menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam menentukan dasar negaranya. Pada pidato tanggal 1 Juni 1945, Ir Soekarno mengungkapkan bahwa kemerdekaan tidak harus jelimet, kemerdekaan tidak harus mempunyai wilayah, pemerintahan, dan pengakuan dari Negara lain melainkan kemerdekaan adalah suatu jembatan emas  yang ia kemukakan pada risalah yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Jembatan emas yang dimaksud adalah Indonesia memulai kemerdekaan dari titik awal jembatan sampai ujung jembatan, jadi kemerdekaan adalah proses selama Negara tetap menjalankan pemerintahannya. Negara akan terus bergelut dengan masalah-masalah yang ada sehingga makna kemerdekaan harus terus ada, bukannya terlena dengan keadaan Negara saat ini karena penjajahan di era sekarang bukan lagi tentang kolonialisme melainkan arus globalisasi dunia yang mengancam ideologi pancasila. Dengan hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan saling berkaitan, namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila.Beliau mengatakan, “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila dari bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala” (Soekarno dalam Latif, 2011: 21).
Selain ucapan yang disampaikan Ir. Soekarno di atas, Pancasila pun merupakan khasanah budaya Indonesia, karena nilai-nilai tersebut hidup dalam sejarah Indonesia yang terdapat dalam beberapa kerajaan yang ada di Indonesia. Dalam pidatonya juga dikatakan bahwa, “Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Di luar itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram – meskipun merdeka – bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten – meskipun merdeka – bukan suatu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia”. Maka menurut Ir Soekarno Kebangsaan Indonesia sangat dibutuhkan bagi bangsa Indonesia sebagai pedoman utama Negara ini.Kebangsaan Indonesia harus ada pada setiap individu dan kelompok masyarakat yang ada, mengingat ragam budaya, ras, suku, budaya, agama, dan adat yang ada di Indonesia sehingga perwujudan pancasila sebagain dasar Negara Indonesia mampu merangkul seluruh lapisan masyarakat.
B. Pancasila Era Kemerdekaan
Dengan memanfaatkan peristiwa pengeboman kota Hirosima dan Nagasaki yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Indonesia mengalami keadaan kekosongan kekuasaan yang mendorong bangsa Indonesia untuk segera memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tanggal 17 Agustus 1945, akhirnya Indonesia secara resmi menyatakan kemerdekaannya dengan adanya perselisihan antara golongan muda dan golongan tua.Isi dari proklamasi kemerdekaan sendiri terdapat pada Piagam Jakarta yang berisi garis-garis penolakan terhadap imperialism-kapitalisme, fasisme, dan dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Namun, piagam ini menagalami perbaikan pada sila pertama yang berbunyi,“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada tahun 1950-an sejumlah tokoh melakukan intrepretasi ulsng terhadap pancasila. Saat itu terdapat dua perbedaan pemahaman terhadap  pancasila. Pertama, golongan yang menganggap bahwa pancasila bukan hanya sebuah kompromi politik melainkan filsafat social atau weltanschauung bangsa.Kedua, golongan yang menempatkan pancasila sebagai kompromi politik dengan dasar fakta yang ada dalam sidang BPUPKI dan PPKI mengenai dasar negara yang merupakan kompromi politik antara golongan nasionalis netral agama dan golongan nasionalis agama.
C. Pancasila Era Orde Lama
Dalam orde lama terdapat perbedaan pemahaman mengenai dasar negara yang dipengaruhi oleh dekrit presiden. Perbedaan antara golongan yang bersedia kembali untuk menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta, dengan penggunaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila yang dirumuskan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Karena konstituante tidak dapat menemukan sosuli atas perbedaan tersebut maka presiden mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 juli 1959 yang berisi : 1.) pembubaran kontituante, 2.) Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku, 3.) pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Ir. Soekarno menghendaki persatuan di antara beragam golongan termasuk golongan antikomunis dan ideologi komunis, di bawah satu payung bernama Pancasila sebagai ideologi bangsa yang tampil hegemonik atau tampil mendominasi (doktrin Manipol/manifesto politik), sementara golongan antikomunis mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni” dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009:34). Sehingga pada dasarnya Ir. Soekarno menginginkan adanya keselarasan dalam kehidupan politik atas dasar Pancasila walaupun mereka memiliki ideologi yang berbeda-beda.Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi bangsa Indonesia. Tetapi dibawahnya sebagai ideologi tunggal bangsa, Pancasila mampu merangkul adanya ideologi lain dibawahnya baik yang ideologi komunis maupun antikomunis. Karena di dalam Pancasila Hak Individu dan Hak Perseorangan sudah diatur sesuai dengan porsi masing-masing.Sehingga dapat dikatakan ideologi pancasila sebenarnya dapat menengahi nominasi ideologi besar dunia yaitu liberalisme-kapitalis dan komunisme.
Karena adanya pertentangan politik pada masa itu, pada akhirnya pemerintahan Ir. Soekarno diruntuhkan oleh sidang MPRS.
D. Pancasila Era Orde Baru
Dengan lengsernya pemerintahan Ir. Soekarno, pemerintahan orde baru pun dimulai dengan kepemimpinan pemerintah Soeharto.Soeharto sangat menekankan Pancasila dapat diamalkan bukan hanya menjadi semboyan negara yang hanya dikumandangkan atau falsafat hidup bangsa yang dianggap keramat.Dengan digunakannnya pancasila sebagi dasar negara yaitu menjadi dasar atas segala hukum dan perilaku bangsa Indonesia, maka secara langsung maupun tidak langsung Soeharto memanfaatkan pemikiran ini dengan menjadikan pancasila sebagai politik pemaksaan.
Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42)
Dalam pemerintah ini memang penerapan nilai-nilai pancasila diterapkan dengan tegas. Namun penerapannya kepada masyarakat menggunakan cara otoriter yang cenderung jauh dari nilai perdamaian dunia dan perikemanusiaan dengan adanya pemaksaan Pancasila sebagai azas tunggal. Dalam pemerintahan ini juga banyak didapati praktek pemerintahan yang tidak transparan dan otoriter, represif, korupsi dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila.Namun praktek-praktek di atas tetap berjalan sampai akhir pemerintahan orde baru atau pemerintahan Soeharto yang berlangsung kurang lebih tiga dekade tersebut.
E. Pancasila Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya menjadi nilai, dasar moral etika bangsa dan aparat pelaksana negara justru disalah gunakan dalam orde baru.Hal tersebut mendorong munculnya gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa, tokok politik, dan masyarakat untuk menuntut adanya reformasi di segala bidang.Dengan adanya penyimpangan implementasi pancasila pada orde baru yang terkesan otoriter, hal ini menjadikan trauma tersendiri pada praktek penerapan pancasila pada era reformasi.
Era reformasi didominasi dengan semakin lunturnya implementasi dan pemaknaan terhadap Pancasila. Hal ini dipengaruhi adanya arus globalisasi yang menyebabkan Pancasila dihadapkan dengan pengaruh lain yaitu fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. Fundamentalisme pasar yang terbentuk dalam masyarakat yang menerapkan sistem hierarki dalam segala aspek kehidupan.Segala sesuatu dinilai dengan aspek materi yang mengurangi nilai kesamarataan antar manusia dalam pancasila.Hal ini dipengaruhi juga oleh kebijakan politik dunia yang mempengaruhi ekonomi suatu negara karena adanya arus globalisasi yang meniadakan batas antar negara.Karena selera dan kepuasan masing-masing orang berbeda-beda, maka hal tersebut dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk memenuhi hasrat mereka dan mencari keuntungan sebesar-besarnya.Sehingga pancasila yang seharusnya menjadi dasar atau fundamental yang menjadi dasar atas segala hal dalam kehidupan sudah luntur karena materi yang lebih diprioritaskan.
Fundamentalisme agama karena timbulnya fanatisme agama dari pemeluk agama masing-masing. Aggapan bahwa kepercayaan agamanya memiliki keunggulan dari kepercayaan lain, sikap merendahkan kepercayaan lain dan mengganggu umat lain untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Sehingga fundamentalisme agama disini sudah menentang pancasila pada sila pertama mengenai kebebasan memeluk kepercayaan sesuai dengan pribadi masing-masing individu. Adanya perbedaan antara aturan-aturan atau sistem yang ada dalam lingkup agama dan pemerintahan, terkadang membuat pemeluk-pemeluk agama yang fanatis menghindari adanya pengaruh pemerintahan, namun hal tersebut tidaklah mungkin karena mereka berada pada wilayah tanah air Indonesia sehingga mau tidak mau mereka harus mengikuti sistem pemerintahan yang ada walaupun tidak secara partisipatif. Timbulnya gerakan-gerakan sparatis yang mengatas namakan agama juga timbul karena adanya fantisme yang berlebih dari individu bahkan kelompok.Seperti gerakan ISIS yang mengatas namakan Islam untuk berjihad dijalan Allah dengan melakukan aksi pengeboman, terorisme, bom bunuh diri, penyanderaan dan lain sebagainya.Hal itu sudah dipastikan tidak dibenarkan dalam ajaran agama apapun, karena setiap ajaran agama apapun pasti mengajarkan perdamaian, persatuan, kemanusiaan, gotong-royong atas kebaikan.







PANCASILA DALAM KAJIAN
BUKU MATA AIR KETELADANAN
PANCASILA DALAM PERBUATAN
Buku mata air keteladanan yang ditulis oleh Yudi Latif ini memiliki lima bagian utama yaitu 1.) Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Ketuhanan 2.)Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Kemanusiaan 3.)Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Persatuan 4.)Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Kerakyatan 5.)Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Keadilan.
Bagian pertama yaitu Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Ketuhanan.Adanya peningkatan agama dalam hal ritual keagamaan, tempat ibadah dari setiap kepercayaan tidak berbanding lurus dengan adanya peningkatan toleransi beragama, keshalehan social dan penyelenggaraan urusan publik terutama dalam hal keagamaan. Setiap individu dan kelompok saling mengutamakan kepentingan agamanya dengan tidak memperhatikan agama lain yang berada disampingnya. Dalam buku ini dikatakan bahwa “ untuk dapat keluar dari krisis hilangnya tumpuan kepercayaan, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi institusional tetapi juga membutuhkan transformasi spiritual yang mengarahkan bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih”. Sehingga kehidupan yang berketuhaanan bagi setiap individu tetapi memiliki jiwa social satu sama lain yaitu semangat gotong-royong dan saling memuliakan keadilan dan persaudaraan.
Bagian kedua yaitu Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Kemanusiaan.Sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia bukan hanya ditujukan bagi bangsa Indonesia saja melainkan untuk dunia.Landasan dari nilai-nilai keadilan dan keadaban yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.Namun arus globalisasi yang kini membuat hak asasi manusia sedikit dikesampingkan, kini haruslah menjadi permasalahan yang penting untuk dapat dipecahkan bagi bangsa ini.
Bagian ketiga Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Persatuan.Keragaman budaya Indonesia sejak dalam dahulu yaitu banyaknya etnis yang membentuk banyak golongan ras dan agama di Indonesia kini dipersatukan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.Dengan semangat nasional Indonesia merupakan perwujudan rasa syukur atas karunia tuhan untuk terus mencintai negeri ini. Kemudian semangat persatuan dalam keanekaragaman juga akan mendorong terwujudnya rasa gotong-royong yang mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Bagian empat Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Kerakyatan. Dalam hal ini menjelaskan tentang demokrasi bangsa Indonesia yang mencintai sesame manusia dan menghormati setiap warga negara sebagai  subyek yang berdaulat. Bukan demokrasi yang mementingkan kepentingan golongan yang bersifat memaksa atau dictator yang mengabaikan kaum minoritas. Dalam buku ini dikatakan “dalam demokrasi permusyawaratan, mencintai terhadap sesame warga diekspresikan dengan mengembangkan “negara kekeluargaan” yang mengatasi paham perseorangan dan golongan serta mengembangkan “ negara kesejahteraan” yang dapat menyelenggarakan keadilan social”.
Bagian kelima Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Keadilan.Penyelenggaraan keadilan adalah tujuan bagi bangsa Indonesia. Keadilan akan terwujud apabila para aparat yang menjalankan saling bahu-membahu menjunjung tinggi keadilan sosial. Aparat disini bukan hanya pemerintah saja melainkan partisipasi aktif dari warga negara yaitu setiap individu di dalam negeri ini untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam buku ini dikatakan “dalam visi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, berlaku sikap : berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. 




DAFTAR PUSTAKA
Ali,As’ad,2009,Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa,Pustaka LP3ES,Jakarta
Dodo,Surono,dan Endah (ed),2010,Konsisten Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya,PSP-Press,Yogyakarta.
Latif,Yudi,2011,Negara Paripurna:Historisitas,Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
Soekarno,1989,Pancasila dan Perdamaian Dunia,Cv Haji Masagung,Jakarta.
Latif,Y. 2-14.Mata Air Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan, (Online), (http://www. Kompasiana.com/ jurnal/opajeppy/resensimataairketeladananpancasiladalamperbuatan.html), diakses 4 Desember 2015.








Komentar